April 29, 2025

Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kementerian Agama Anwar Saadi menegaskan bahwa pernikahan yang sah harus didasarkan pada hukum masing-masing agama.
Peraturan tentang itu sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

“Ya, kalau regulasi sudah jelas. Pernikahan sah menurut hukum masing-masing agama. Kalau dari perspektif Islam, laki-laki muslim, perempuan muslim nikahnya sama-sama muslim. Saya kira dari agama lain demikian,” kata Anwar kepada CNNIndonesia. com, Selasa (8/3).

Anwar menjelaskan pasangan yang berbeda agama, kebanyakan salah satu calon mempelainya akan pindah agama ketika hendak menikah. Sehingga, mereka menikah dengan agama yang sama dan bisa melaksanakan pencatatan oleh negara.

Sebaliknya, ia menegaskan Kantor Urusan Agama (KUA) tak bisa mencatat bila pernikahan dilakukan oleh mempelai berbeda agama.

“KUA enggak akan bisa mencatat [kalau beda agama]. Enggak bisa. KUA cuma yang seagama. Kalau beda agama enggak bisa,” kata dia.

Lebih lanjut, Anwar menyatakan kondisi sudah diatur dalam. Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat 1 berbunyi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”.

Ia menjelaskan UU Perkawinan itu sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2015 lalu. Namun, MK menolak gugatan tersebut.

Gugatan itu dilayangkan karena para penggugat menilai perkawinan beda agama dianggap tidak sah oleh negara dalam aturan tersebut. Penggugat menganggap tidak diperbolehkannya pernikahan beda agama dengan pelanggaran hak konstitusional warga negara.

“Kalau benar-benar nikah beda agama, enggak bisa di Indonesia, enggak ada regulasinya. Bahkan sudah di uji materi di MK dan ditolak,” kata dia.

“Jadi negara mencatat [nikah] bila secara agama sah. Kalau secara agama tak sah,secara negara tak sah juga,” tambahnya.

Bagaimana ketika pasangan tersebut berbeda agama? pernikahan bisa dilangsungkan?

Islam, diwakili oleh para ulamanya, mengatakan pernikahan berbeda agama sebaiknya dihindari. Yang diperbolehkan, ketika seorang Muslim ingin menikahi seorang perempuan yang tidak beragama Islam diperbolehkan jika perempuan tersebut beragama Nasrani atau Yahudi.

Di luar agama itu diharamkan karena sebagian ulama berpandangan bahwa agama Nasrani dan Yahudi juga menganut keyakinan akan keesaan Tuhan. Namun, sebagian ulama sebaiknya berpendapat perbedaan agama ini bisa diminimalisasi.

Agama ini menyangkut keyakinan dan keyakinan, ketika ada perbedaan, dikhawatirkan akan mengganggu komitmen yang seharusnya dijaga, dipelihara, dan dirawat bersama.

Dalam agama Islam, hubungan suami istri adalah hubungan penuh kesalingan, saling menghargai, menghormati, dan menebar kasih sayang kepada sesamanya. Maka kemudian agama menjadi sesuatu yang penting.

Apakah menikah dengan yang beda agama diperbolehkan? Tentu kita perlu memahami lebih dahulu esensi dari pernikahan itu.

Agama Islam memaknai pernikahan sebagai peristiwa sakral. Itulah mengapa seorang laki-laki dan perempuan yang akan menjadi pasangan suami istri pada awal ketika akan membangun komitmen rumah tangga dia harus melakukan perjanjian atau kesepakatan.

Dan dalam Islam dikenal dengan istilah mitsaqan ghalidza atau yang begitu kokoh. Jadi komitmen akan kewajiban dan hak masing-masing pihak terhadap istri dan sebalik harus perjanjian yang disepakati bersama.

Ketika membangun rumah tangga di mana kita tahu keluarga adalah unit yang ada di tengah masyarakat. Tentu, kesamaan cara pandang, sikap, dan bentuk praktik amalan khusus terkait yang terkait harus jadi kesepakatan bersama.