April 24, 2025

FEDERAL Reserve, Bank Sentral Amerika Serikat, Rabu (15/6/2022) waktu setempat, mengumumkan kenaikan angresif suku bunga acuan sebesar 0,75 persen atau 75 basis poin. Ini merupakan kenaikan paling agresif yang pernah dibuat The Fed sejak November 1994.
The Fed, sebutannya, mengumumkan pula masih akan ada kenaikan suku bunga acuan lagi pada Juli 2022. Lonjakan inflasi menjadi landasan keputusan mereka.
Federal Open Market Committee (FOMC), forum yang memutuskan kenaikan suku bunga acuan The Fed, menetapkan suku bunga acuan pinjaman menjadi 1,5-1,75 persen, melonjak dari 0 persen pada awal tahun.
Gubernur The Fed, Jerome Powell, mengatakan kenaikan agresif ini penting untuk menurunkan inflasi tinggi yang tengah melanda negaranya. Ini, lanjut dia, juga merupakan wujud tekad The Fed untuk memulihkan stabilitas harga.

Keputusan The Fed ini dibuat di tengah imbas Perang Ukraina yang telah menaikkan harga bahan bakar dan bahan pangan global. Situasi tersebut sudah menyeret turun popularitas Presiden Joe Biden pula.
Powell menyatakan misinya menekan inflasi dan memulihkan stabilitas harga tersebut dirancang untuk tidak malah menggelincirkan ekonomi. Namun, dia mengakui pula bahwa selalu ada risiko bahwa ini merupakan langkah yang terlalu jauh.
Kepada wartawan, sebagaimana dikutip AFP, Powell mengatakan bahwa keputusan The Fed kali ini merupakan langkah yang besar tetapi dia juga tidak berharap langkah sebesar ini akan menjadi hal yang jamak dilakukan The Fed.
Meski demikian, lanjut Powell, situasi pada hari-hari ini tampak menjadi landasan bagi kenaikan suku bunga acuan sebesar 50-75 basis poin lagi pada pertemuan FOMC berikutnya.

Respons pasar
Bursa saham Amerika Serikat menyambut positif langkah agresif The Fed. Wall Street ditutup menguat seturut pernyataan Powell keluar. Indeks S&P 500, misalnya, ditutup menguat 1,5 persen setelah sejak awal pekan terperosok ke zona bearish.  “Pasar mulai nyaman dengan gagasan bahwa The Fed sekarang mulai menanggapi situasi inflasi dengan sangat serius,” kata Tom Cahill dari Ventura Wealth Management, yang tetap menyatakan skeptis bahwa The Fed bisa menghadirkan pendaratan yang mulus (soft landing) bagi perekonomian.
Seturut pengumuman The Fed, ekonom dari Wells Fargo, Jay Bryson, mengoreksi proyeksi ekonominya dari pertumbuhan ekonomi lemah menjadi resesi ringan yang dimulai pada pertengahan 2023. Inflasi dia perkirakan mulai punya akar di perekonomian tetapi tetap memberi catatan bahwa kenaikan suku bunga akan membatasi sejumlah pengeluaran.

Dampak bagi Indonesia
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dradjad Hari Wibowo menyebut efek kebijakan The Fed akan memberikan dampak sangat berat bagi Indonesia. “Harga akan terkerek naik. Uang lari ke Amerika. Outflow ini juga susah ditebak. Rentetan (dampak kebijakan The Fed ini) akan panjang,” kata Dradjad lewat perbincangan telepon, Kamis (16/6/2022) pagi.  Rentetan panjang berikutnya sebagai imbas kebijakan The Fed, kata Dradjad, akan dimulai dengan pilihan “mau tidak mau” bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk menambah discount rate surat utang negara (SUN).
“Mau tidak mau juga, penerbitan (surat) utang harus dikurangi karena akan terlalu mahal (bunga yang harus dibayarkan negara). Harus kreatif cari sumber-sumber pendapatan baru. Ini dari sisi APBN,” sebut Dradjad. Dari stabilitas moneter dan sektor keuangan, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun kudu bergegas mengambil langkah proaktif sebelum aliran uang ke luar negeri (outlow) menderas.