April 25, 2025

 

Wacana untuk menunda pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dan memperpanjang masa jabatan Presiden menjadi tiga periode, dinilai hanya sebagai permainan politik. Menurut Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Khairun, Margarito Kamis, mewujudkan wacana tersebut akan memiliki banyak implikasi hukum.

Margarito menjelaskan, usulan untuk mengubah konstitusi dalam lingkup kepentingan politik lumrah dilakukan. Sebab, wacana untuk memperpanjang masa jabatan Presiden tidak hanya terjadi kali ini. Tahun lalu, polemik serupa juga sempat mencuat, lalu hilang tanpa hasil konkrit. Sedangkan secara hukum tata negara, mengubah konstitusi akan memiliki konsekuensi hukum yang serius, karena berimbas kepada aturan turunannya. “Ini mainan politik,” ujar Margarito

Secara hukum, jika mengacu pada ketentuan saat ini, Pasal 22E UUD 1945 mengatur pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Sementara untuk jabatan Presiden, Pasal 7 UUD ’45 sesuai amandemen keempat menjelaskan, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Jika para pengusung wacana ini mau tetap memaksakan kehendak untuk mengubah konstitusi, satu-satunya cara untuk mewujudkan wacana tersebut adalah dengan kebijakan otoriter. “Ditangkapi semua yang menolak, itu baru bisa,” jelas Margarito.

Selama tidak ada usul untuk mengubah kedua pasal tersebut pada amandemen UUD ’45, maka wacana untuk menunda Pemilu 2024 atau memperpanjang masa jabatan Presiden tak akan menjadi kenyataan. Untuk itu Margarito berharap masyarakat sebagai pemegang kedaulatan, juga dapat terus mengawasi proses berkembangnya rencana amandemen UUD ’45.

Berdasarkan UUD ’45, secara hukum perubahan pasal pada amandemen diatur Pasal 37 UUD ’45. Pada ayat 1 disebutkan usul perubahan pasal-pasal pada UUD hanya dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), apabila diajukan oleh minimal 1/3 dari jumlah anggota MPR. Kemudian pada ayat 2 dijelaskan, setiap usul perubahan harus diajukan secara tertulis, dengan menunjukkan bagian yang akan diubah beserta alasannya. Selanjutnya pada ayat 3, disebutkan bahwa kuorum sidang mewajibkan minimal 2/3 anggota MPR hadir. Lalu pada ayat 4 menerangkan usulan perubahan hanya dapat disetujui jika minimal 50 persen ditambah satu anggota menyatakan setuju.

 

Jokowi menikmati tiga periode?

Wacana penundaan pemilu dan presiden tiga periode nampaknya akan terus bergulir. Hal ini berkaca pada tanggapan Presiden Jokowi yang dinilai sejumlah pihak sebagai pernyataan bersayap. Jokowi, diketahui sekali lagi menyatakan patuh dan taat pada konstitusi. Namun, hal itu dinilai belum menegaskan sikap atas usulan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan.
Managing Director Paramadina Public Policy Institute Ahmad Khoirul Umam menilai, pernyataan Jokowi tak ubahnya hanya permainan diksi untuk bermain aman guna membuka ruang manuver lewat pernyataan-pernyataan bersayap. Umam menyayangkan lingkaran Istana Presiden yang terus menerus berkelit dengan argumen ‘taat konstitusi’ dan ‘membuka ruang demokrasi’. “Jika presiden tetap enggan, rasanya memang presiden menikmati langgam permainan politik untuk memperpanjang masa jabatannya itu,” ujar Umam kepada Kompas.com, Rabu. Sementara Partai Demokrat menilai, kemunculan kembali suara-suara Jokowi tiga periode dapat diartikan sebagai sebuah gerakan “terorisme konstitusi”.

Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat Kamhar Lakumani berpendapat, gerakan itu muncul karena terus adanya pembiaran dari pemerintah, khususnya Kepala Negara, Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Gerakan ‘terorisme konstitusi’ ini terus bergulir karena Jokowi tak bersikap tegas, malah terkesan bermain dua kaki dalam merespons manuver-manuver orang dekatnya dengan menjadikan demokrasi yang salah tafsir sebagai argumentasi,” kata Kamhar dalam keterangannya, Kamis (31/3/2022). Penilaian Kamhar mengacu pada pernyataan Presiden Jokowi untuk menanggapi usulan tiga periode, penambahan masa jabatan, dan wacana penundaan pemilu. Beberapa kali, Jokowi angkat bicara dengan usulan tersebut. Namun, Demokrat menganggap Jokowi belum tegas merespons, bahkan menghentikan wacana. Berkaca hal itu, Demokrat berpendapat bahwa pihak berkuasa sedang gencar-gencarnya mendorong agenda melanggengkan kekuasaan.