Perkosaan massal yang terjadi pada Mei 1998 adalah sebuah tragedi yang menjadi catatan kelam dalam penanganan kasus perkosaan di Indonesia. Pada kerusuhan yang terjadi 24 tahun silam, terjadi perkosaan massal di beberapa titik wilayah yang korbannya sebagian besar adalah para perempuan etnis Tionghoa. Tim Relawan kasus Mei 1998 mencatat setidaknya ada 150 perempuan etnis Tionghoa yang mengalami perkosaan (Tirto.id, 2017).
Namun, jumlah sebenarnya bisa saja lebih tinggi karena banyak kasus yang tidak terverifikasi. Tim Relawan ini menemukan para korban dengan berbagai kondisi, ada yang terduduk diam dengan pandangan kosong karena stress, pingsan bersimbah darah, hingga korban yang meninggal karena dianiaya setelah diperkosa. Para aktivis Tim Relawan menghadapi kondisi yang mencekam ketika secara beruntun menerima telepon berisi aduan perkosaan di berbagai tempat. Krisis ekonomi politik yang disertai dengan kerusuhan di berbagai tempat ini menjadi sebuah kondisi yang menyulitkan pertolongan dan perlindungan untuk para korban perkosaan. Para aktivis yang tergabung dalam Tim Relawan untuk Kekerasan terhadap Perempuan (TKRP) terus berkeliling untuk memberi bantuan kepada para korban. Fokus utama para aktivis pada saat itu adalah memberikan tempat yang aman untuk para korban.
Hal ini dilakukan karena pemerintah tidak langsung merespons perkosaan massal ini dengan membuat posko ataupun layanan aduan. Sehingga, para aktivis bahu-membahu secara mandiri untuk membuat rumah aman untuk keselamatan para korban. TKRP ini dalam menangani korban perkosaan kemudian dibagi menjadi beberapa tim, yaitu tim investigasi, tim dokumentasi, tim pendampingan, dan tim pemindahan korban yang seluruhnya beranggotakan aktivis masyarakat sipil.
Perkosaan massal ini sempat dilaporkan kepada Presiden B.J. Habibie, untuk mengupayakan keadilan bagi para korban. Pada saat itu, Saparinah Sadli bersama Ita Nadia, aktivis perempuan yang tergabung dalam Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan menghadap Presiden B.J. Habibie, Penasihat Militer Presiden yaitu Sintong Panjaitan, dan Panglima TNI yang pada saat itu dijabat oleh Wiranto.
Saparinah dan Ita Nadia menghadap ketiga tokoh tersebut dengan membawa data korban perkosaan yang telah diverifikasi. Mendengar laporan perkosaan massal ini, Sintong Panjaitan dan Wiranto merespons dengan amarah karena menganggap laporan aktivis ini adalah sebuah kebohongan dan dianggap tidak nyata.
Namun, Presiden B.J. Habibie pada saat itu percaya dengan laporan aktivis mengenai perkosaan massal yang terjadi. Presiden B.J. Habibie kemudian membacakan permintaan maaf atas nama pemerintah di depan wartawan Istana. Selain itu, Presiden B.J. Habibie juga memerintahkan untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), dan memenuhi permintaan para aktivis untuk mendirikan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Hasil investigasi TGPF menemukan bahwa perkosaan yang terjadi pada Mei 1998 adalah bentuk teror yang dilakukan secara luas, masif, dan sistematis. Berbeda dengan data relawan, TGPF menemukan bahwa korban perkosaan massal sebanyak 52 kasus (Tim Relawan untuk Kemanusiaan, 1998). Laporan hasil investigasi TGPF ini kemudian diserahkan ke Jaksa Agung oleh Komnas HAM untuk kemudian dilakukan penyidikan. Namun, sampai 24 tahun berselang, kasus perkosaan massal ini tidak juga dituntaskan karena berkasnya dinilai tidak lengkap (Tempo, 2018).
Perjuangan aktivis untuk mencari keadilan bagi para korban perkosaan massal tidak berhenti sampai di situ saja. Ita Martadinata adalah satu-satunya penyintas perkosaan massal yang bersedia menjadi saksi di sidang PBB untuk membawa kasus perkosaan massal ini ke tingkat internasional. Namun, satu minggu menjelang keberangkatannya, Ita Martadinata dibunuh di rumahnya dan sampai saat ini kasusnya belum juga terungkap. Pembunuhan Ita Martadinata merupakan pembungkaman korban yang berupaya menuntut keadilan. Pembunuhan Ita Martadinata ini juga menjadi teror yang nyata karena setelahnya, banyak dari para korban yang enggan untuk bersuara karena takut akan dibunuh.
Upaya Pemulihan Korban melalui UU TPKS
Perkosaan dan tindak kekerasan seksual setelah tragedi Mei 1998 masih terus terjadi hingga saat ini. Upaya penyelesaian kasus perkosaan sampai pemulihan korban tidak hanya memerlukan peraturan yang berpihak pada korban, namun juga political will dari para penegak hukum untuk menyelesaikan kasusnya. Mengingat apa yang terjadi pada perkosaan massal 1998, kasus tidak diusut dan diselesaikan karena Indonesia belum memiliki peraturan yang sistem pembuktiannya bisa digunakan dalam kasus ini. Di sisi lain, tidak ada political will dari Jaksa Agung dan aparat penegak hukum lainnya untuk menyelesaikan kasus perkosaan massal 1998.
Pada 9 Mei 2022 lalu, Indonesia akhirnya memiliki UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang bisa mencegah berbagai bentuk tindakan kekerasan seksual dan mengupayakan pendampingan sampai pemulihan korban. Namun, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Prof. Eddy Hiariej menjelaskan bahwa perkosaan tidak diatur sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual di UU TPKS dengan dalih akan diatur dirancangan revisi KUHP.
Hal ini menjadi masalah karena saat ini KUHP masih dalam tahap revisi yang belum diketahui kapan akan diselesaikan. Akibatnya, saat ini korban perkosaan di Indonesia tidak memiliki kejelasan dasar hukum dalam penyelesaian kasusnya. Apabila KUHP belum selesai direvisi dan tidak ada pasal jembatan antara KUHP dengan UU TPKS, maka pemulihan korban perkosaan tidak bisa dilakukan dengan ketentuan yang ada di UU TPKS.
Hal lain yang juga disayangkan dari UU TPKS adalah UU ini juga tidak bisa berlaku surut atau tidak bisa digunakan untuk mengusut kembali kasus yang terjadi sebelum UU ini diterbitkan. Hal ini disebabkan karena kekerasan seksual tidak termasuk dalam tindak kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lidwina I. Nurtjahyo menuturkan bahwa UU ini bisa berlaku surut apabila kasus kekerasan seksual tersebut kembali dilaporkan dengan menyertakan bukti baru (novum). Apabila korban melaporkan kembali kasusnya tanpa ada bukti baru, maka upaya penyelesaian kasus dan pemulihannya juga tidak bisa menggunakan mekanisme yang diatur pada UU TPKS.
Sebelum Indonesia memiliki UU TPKS, banyak korban kekerasan seksual yang suaranya tidak didengar dan tidak mendapat keadilan karena sistem pembuktian yang menyulitkan para korban (Komnas Perempuan, 2021). Adanya UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) ini diharapkan mampu memberikan ruang yang lebih aman dan perlindungan hingga pemulihan bagi para korban tindak kekerasan seksual. Dengan demikian, negara melalui aparat penegak hukumnya juga harus memiliki keberpihakan pada korban.Tragedi Mei 1998 yang sampai saat ini belum dituntaskan adalah bentuk nyata pengabaian negara terhadap para korban perkosaan massal. Menjadi korban perkosaan yang tidak mendapat keadilan dari negara adalah trauma seumur hidup yang harus ditanggung oleh korban, menjalani hidup dengan luka yang tidak akan pernah sembuh. Di akhir tulisan ini, mari kita menundukkan kepala sejenak untuk berdoa bagi para korban yang sudah terlebih dahulu berpulang sebelum suaranya sempat didengar dan para korban yang belum mendapat keadilan di negaranya sendiri atas apa yang dialaminya.
Tanggapan Pemerkosaan 98 :
- Karena menteri Fadli Zon itu yang sempat membahas kembali kasus pemerkosaan 98 yang beliau ini menyanggah bahwa kasus ini tidak benar benar terjadi, tapi pada dasarnya dari pengungkapan yang ada dari para aktivis
- Pemerintah yang tidak langsung merespon kasus ini, yang dipikirkan aku adalah, pada tahun tersebut ada kasus yang lebih urgent, mengingat etnis yang terlibat menjadi korban adalah etnis tionghoa
- Sebagai orang awam pun syok melihat kasus ini apalagi faktanya korban dibungkam agar tidak bilang pelaku siapa, pemerintah juga tidak segera bisa menanggulangi kasus sampai saat ini, tidak jauh jauh juga dari suara atau aksi perempuan yang menyuarakan keadilan, dengan itu perempuan juga harus bisa menjaga diri dan mendekat kepada Allah SWT. Dari kita juga gabisa bertindak apa apa
- Petinggi militer saat itu juga menyebutkan bahwa hal ini tidak terjadi atau di akui
- Sebenernya kasusnya juga udah mau di naikkan ke pbb, tapi malah yang melaporkan juga di seret menjadi korban, juga padahal presiden Bj Habibi itu sudah menyuarakan tapi pihak aparat terkait tetap membungkam kasus ini sampai sekarang
- Tim tgpf udah menemukan kasus ini sebsgai kasus nyata, tapi malah pemerintah masih tutup mata dengan kasus ini. Kasus ini ditutupi mungkin banyaknya aparat tinggi yang terlibat
- Juga kenapa fadli zon mengungkapkan kasus ini lagi karena dari google yang bicara bahwa fadli zon dekat dengan keluarga cendana yang notabenya…..
- Pada zaman itu emang indonesia sedang chaos, kemanan juga kurang, dan pemerintah lagi kacau, nah pertama kali ditemukan korban tu karena mahasiswa Trisakti yang melihat adanya orang diperkosa. Korban 1 adalah tionghoa, kenapa karena tionghoa kurang nasionalis, dan itu adalah simbol dari kekuasaan dari pemerintah lokal, untuk menyingkirkan etnis itu. Pemerintah juga kurang responsif karena justru dari aparat itu ikut andil. Yang bisa kita lakukan yakni kita harus menyuarakan dengan cara sosial media
- Seperti aksi kamisan yang sampai saat ini masih meminta keadilan agar di usut tuntas terkait terjadinya kasus 98 yang sangat chaos dan merugikan semua masyarakat
- Ketika memilih pemimpin kita harus bisa riset dulu bagaimana calon tersebut dulunya, apakah punya jejak baik atau jelek yang membuat kita harus lebih bisa mempertimbangkan untuk memilihnya